Bukan Aku menghindarinya....
Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, begitu juga dengan Mama, beliau satu-satunya orang tua yang masih aku miliki, semenjak Papa meninggal 10 tahun yang lalu membuatku sadar arti sebuah pengorbanan dan kasih sayang sosok Ibu. Terkadang aku selalu adu argumentasi dengan beliau, maklum kami kini hanya tinggal berdua saja, itu karena kakak sulungku telah menikah dan hidup bersama suami dan anaknya.
Berbicara tentang menikah, hal inilah yang terus Mama bicarkan kepadaku, setiap Mama membicarakan pernikahan aku hanya bisa tersenyum atau tertawa kecil karena aku pun belum memilih untuk kearah sana dengan alasan, pertama aku masih ingin bebas, masih terlalu muda untuk membayangkan hidup selamanya dengan sosok laki-laki disampingku, dan satu lagi alasan yang paling mendasar, aku belum memiliki lelaki pilihanku.
Mama dan beberapa temanku kadang berfikir aku terlalu banyak criteria untuk lelaki yang akan aku jadikan salah satu teman hidupku baik itu untuk pacar maupun untuk dijadikan pasangan hidupku nantinya. Sebenarnya aku memiliki dasar-dasar tipe lelaki yang paling simple.
“Tetapi terkadang simple itu malah bikin rumit.” Itu pendapat salah seorang mantan kekasihku. Soal menikah, aku selama beberapa kali menjalin hubungan, alhamdulillah rata-rata kekasihku mengajakku menikah.
Kalau dipikir-pikir aku juga lelah dengan hubungan yang tidak tentu arahnya, walaupun sebenarnya kami membentuk satu mimpi bersama.
“Hal yang paling utama untuk bisa membangun kenikmatan dalam menjalin hubungan adalah dengan membenahi sikap dari dirimu sendiri.” Mama selalu bilang begitu, dan beliau pun juga menilai “Semua yang terjadi, dari setiap hubungan yang kamu jalin merupakan sebuah rangkaian dari ketidak siapan dirimu untuk menjadi salah satu yang teristimewa bagi mereka.”
Aku memang termasuk paling tidak peduli dalam menjalin hubungan, karena aku pikir aku tak akan bisa mendapatkan satu cinta yang begitu aku bisa hargai dan aku rasai dengan segenap raga seperti layaknya cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan waktu SMU dulu. Aku terkesan bisa cepat beralih pikiran atau cinta mungkin jika orang melihat aku dulunya cepat sekali mendapatkan pacar baru, tetapi sebenarnya tidak demikian, aku mencari sosok yang bisa tepat menjadi salah satu bagian dari sejarah hidupku, mencoba untuk menumbuhkan rasa cinta itu, tapi aku tak mengerti bagaimana untuk menumbuhkannya. Dan hasilnya aku hanya bisa menyisakan luka mendalam untuk sosok-sosok lelaki yang pernah singgah dihatiku.
“Keadaan yang membuat semuanya usai adalah rata-rata dikarenakan sikap dan ketidakdewasaan kalian sendiri dalam memelihara sebuah hubungan.” Satu lagi kata indah mama yang terlontar ketika aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya seperti,
“kapan kamu akan berfikir untuk memulai sebuah hubungan lagi, kapan kamu akan mencoba sebuah hubungan dengan satu benang merah yang tidak hanya menyambungkan dua hati manusia, tetapi menyambungkan hubungan antara keluarga.”
“Kapan itu, ade gak tahu, dan gak akan pernah tau kapan, yang pasti ade pengen sebuah keyakinan ketika ingin memulai, bukan lagi sebuah kata coba untuk membuat garis start-nya”
“Adakalanya garis itu ada, dan disitu kita bisa mendewasakan kepala kita untuk setara dengan umur yang ada.” Kata-kata beliau sangat dalam bagiku, dia selalu memberikan wejangan-wejangan yang sangat manis dan bermakna sangat misterius, permainan katanya pun sangat indah, mungkin karena beliau dibesarkan dikeluarga sumatera yang kental dengan budaya pantun dan kata-kata mutiara, dan itupun kini ia turunkan kepadaku.
“Menikah” bukanlah momok menakutkan buatku, kata itu merupakan sebuah kata yang tak sing lagi, tapi aku ingin pernikahanku nanti, entah itu dengan siapa Allah akan memberikanku pangeran hidupku, aku ingin bukan hanya cinta dua insan, melainkan cinta sebuah selimut kehidupan dua keluarga yang disatukan, cinta untuk saling menerima apa adanya, sebuah cinta yang tak perlu dengan baris-baris deklamasi yang panjang hingga lelah ketika membaca bait terakhirnya, aku hanya ingin sebuah cinta dengan bait pendek dengan makna paling dalam, yang membuat aku dan dia nantinya mencoba untuk terus menumbuhkan cinta hingga kami tua dan kembali kepangkuan-Nya. Aku menginginkan cinta dengan keikhlasan, tanpa beban, tanpa paksaan.
“Apakah kamu sudah siap untuk itu, berfikir untuk melangkah dengan keiklasan ke jenjang itu ?”
“Belum, tapi ade akan buka diri untuk menjadi sosok yang siap untuk langkah besar itu. Karena ade tak akan selamanya mencintai kesendirian.”
“Dan tak akan selamanya mama bisa menemani hari-hari kamu.” Peluknya dalam isak sosok ibunda yang seakan tahu masanya akan habis.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home