Mama... Maafkan Aku....
Aku mulai belajar untuk tertawa hari ini, bukan karena aku dulu tak bisa tertawa, mungkin tawaku yang lalu merupakan sebuah kegalauan dan ketidakdewasaan dalam menyingkapi sesuatu.
Apakah yang aku cari, itu pun aku masih terus mencari, apa yang ingin aku gapai, aku masih terus mencoba mengulurkan tangan untuk meraih yang aku inginkan. Wahai mentari terima kasih hari ini terikmu begitu menyejukkanku, menemani tawa indahku, kedewasaanku dan ketidakpedulianku. Aku yang memiliki sikap paling egois, paling tak mau di dikte kini aku ingin tetap seperti itu. Aku ingin seperti layaknya aku. Jika aku ingin terbang, masih ingin terus berkelana apakah itu salah ?
Hampa itu datang lagi, tapi aku mendapatkan siraman sebuah air kesejukan dari seorang ibu yang ketika aku bicara dengannya, semua masalah seakan terpecahkan. Semua kekecewaan, kegalauan yang aku punya beliau seakan menyingkap tirai yang menutupi semua pandanganku untuk bisa terus menjalani hidup. Kala air mataku menjadi teman sejatiku, kini beliau menjadi sahabat terindahku, memposisikan dirinya sebagai manusia seusiaku, menyingkapi semua dengan kacamata manusia seumurku.
Mama yang seakan tiada penat untuk terus mengulurkan tangan ketika aku terjatuh dan tanpa henti memberikan aku senyum kala aku murung dalam kegilaan yang aku buat sendiri, yang selalu memberi doa dengan tangisannya untuk memberi taman yang selalu subur untuk terusan jalanku. Andai aku bisa membalas itu semua, terkadang aku bahkan seakan tak mau mengerti atau bahkan tidak mau tahu, aku menurutkan emosiku yang akhirnya aku pun kembali kepelukan Mama untuk menangis. Bukan ke seseorang yang mungkin menjadi pangeran hidupku.
Mama maafkan aku buat satu goresan lagi dihatimu, kala pilihanku menjadi pertanyaanmu......
Mama.... kenapa aku selalu salah ketika aku mulai berjalan
Mama.... jangan menyesali jalanku
Mama.... biar aku terus merenung
Mama.... jangan benci aku kala aku membuat kecewa kepercayaanmu
0 Comments:
Post a Comment
<< Home