Dua Sisi Koin itu mengapa harus Ada?
Pernah lihat koin, apapun nilainya? koin itu pasti dua sisi yang berbeda, dua wajah yang berbeda, dan begitu juga hidup.... Punya dua sisi yang berbeda. Mengapa tidak selalu selama saja? atau kenapa itu harus ada, kadang dua sisi itu menciptakan penderitaan bukan? membuat pertanyaan bukan? Itu tanya yang kerap ada di otak gue, tapi mau apa lagi, gak bisa diubah. Ya layaknya bahagia dan sedih, hingga cinta dan benci. Seperti layaknya cinta dan benci, pemisah diantara mereka bagaikan selaput yang sangat tipis, terkadang mereka bisa berganti tempat.
Ok mari kita lirik kata cinta.... Cinta bermula dari rasa simpatik, lalu suka dan kemudian sayang hingga menjadi cinta, tapi benci kadang rasa itu lebih lucu lagi, karena dia muncul dengan bersama amarah, emosi dan rasa gondok yang berlebih, sangking berlebihnya rasa itu bisa berubah menjadi awal cinta. Hal ini pernah gue lihat langsung di kehidupan nyata, ketika temen gue sebut aja Andi waktu SMA begitu membenci seorang cewe sekelas gue yang kita sebut saja Nana yang pendiem dan wakil -ketua kelas, karena dia sering ketauan melakukan hal-hal dilarang sama sekolah, selalu berfikir bahwa Nana-lah yang ngadu sama guru dan wali kelas, karena duduk mereka berdekatan, padahal tuh Nana mana pernah mikirin temen-temen dibelakang mereka lagi ngapain, dia selalu berkelompok dengan gue dan beberapa teman yang dibilang kelompok "EINSTEIN" yang pinter, tapi paling ngaco, error, dan badung gak ketulungan hehehehehe, badung jail seh gak badung yang gimana2 gitu d, tapi ketika Nana udah gak tahan dijadiin orang yang dipersalahkan terus, menjadi seorang yang selalu murung dan penyendiri, dan akhirnya dia menangis ketika dia sudah amat sangat tidak tahan, dan disitulah Andi itu merasa bersalah banget, dan akhirnya mulai dari situ dia simpatik dan suka sama Nana, nah ketauan dia suka sama Nana dari buku catatan dia yang kebuka pas jam istirahat, nah kelompok EINSTEIN mana betah istirahat lama2 kalau gak ngocol bareng di dalam kelas, yang dulunya lab Fisika, yang persis di sebalahnya Lab Kimia, sangking ruangannya gede, kita bebas untuk melakukan apapun, plus satu-satunya kelas terlangkap, karena ada TV, radio, dan alat-alat lain yang dibawa sama anak-anak badung dibelakang.
ENSTEIN tentunya gak menyia-nyiakan adanya buku kebuka itu, akhirnya dibaca deh bukunya hehehehehehehe, ternyata ada curahan Andi yang bilang dia cinta Nina, Nina yang gak ikutan ngebaca sempet kaget, sampe akhirnya temen gue kasih liat catatan Andi. Gue sendiri sempet shok ketika ada kata-kata yang bunyinya hampir sama seperti ini "Gak kebayang kalau gue bisa cinta sama dia, dia yang selama ini gue benci, gue gak bisa untuk tidak setiap hari ngeliat dia, gue baru sadar, dia ternyata manis banget, apalagi ketika dia tersenyum, gue bersalah sama Nina, tapi gue sungguh cinta sama Nina." Aih... Nina sampe benggong kaya orang kesambet, kita sendiri juga cuma senyum-senyum aja dan akhirnya di hari-hari berikutnya kita masih bisa liat Andi tetap godain Nina dengan kata-kata mengejek tapi ketika Nina berbalik dan memandangnya, Andi kemudian diam seribu bahasa, menunduk dalam banget. Dari situ kita tau bahwa Andi cuma pura-pura supaya teman-temannya yang satu geng dengan mereka teatp merasa bahwa Andi membenci Nina. Rahasia rasa cintanya gak terungkap oleh Andi kepada Nina sampe kita lulus, dan gue dari situ gue sadar banget kalau cinta sama benci tipis banget pemisahnya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home